Karnaval Kemerdekaan dan Kenangan Masa Kecil


Panas hari masih melekat melahirkan butiran-butiran keringat sebesar biji jagung. Warna - warni payung tak rapi berderetan di pinggir jalan siap menyaksikan semarak karnaval hari kemerdekaan yang hadir satu tahun satu kali. Anak kecil berlarian kegirangan menanti barisan warna - warni yang tampak dari kejauhan. Tak ketinggalan para penjual makanan minuman ringan, tukang parkir amatiran, dan penjual mainan sederhana yang dulu sempat ditelan zaman. Semua dapat bagian.


Jalan yang semula lenggang tiba-tiba menyempit, yang tadinya duduk manis kepanasan segera berdiri meraih tempat paling depan hanya ingin sekedar melihat penampilan sanak saudara, teman, atau kerabat yang sedang bergabung dalam sebuah grup  marching band . Mayoret dengan terampil memainkan baton untuk memandu barisan anggotanya. Jangan terlalu dekat jika tak mau kena libas.

Hiruk pikuk keramaian tenggelam dalam alunan musik marching band. Lagu - lagu kebangsaan dimainkan sambung menyambung, marching bell seolah menjadi vokal. Mayoret kembali beraksi dengan tongkat panjangnya, dan terkadang tersenyum malu menatap lensa.

Jauh beberapa jarak usai meriahnya marching band, berjalan pasukan berseragam merah merah tanpa alas kaki, bagaikan pendekar habis perang. Aspal panas pun tak dihiraukan, mereka terus berjalan tanpa alas kaki. Tapi tiba - tiba berhenti, bukan untuk menangkap gerombolan bandit, tapi melakukan sedikit atraksi menghibur. Susunan atap rumah yang dibuat menggunakan tanah liat kami menyebutnya genteng, disusun beberapa tingkat diatas kepala seorang anak kecil, mungkin junior. Tapi jangan kau ragu, tak berapa lama senior menghantam tumpukan genteng diatas kepala tadi menggunakan palu yang beratnya mungkin bisa mencapai lima kilogram. Jangan dicoba jika tak mau mati muda.

Atraksi kembali dilakukan, genteng kembali dipasang beberapa lapis, dipegang erat oleh dua orang dewasa. Tak lama - lama, seorang pendekar menghantam genteng beberapa lapis tadi sampai pecah berkeping - keping. Seketika bocah yang ku kira usianya tak lebih dari enam tahun, menangis tersedu - sedu. Dia terkena pecahan genteng. Dia melihat terlalu dekat.

Siang hingga sore itu berlalu dengan meriah. Ada tawa anak dan ibunya melihat aksi perempuan tapi laki-laki, ada tangis anak - anak yang meminta jajan pada ibunya, ada peluh keringat peserta karnaval yang jatuh sepanjang jalan, dan ada kenangan bahagia masa kecil ku bersama ibu ketika menonton karnaval. Kemudian sore hari aku pulang.

6 komentar:

  1. Merdeka bang! Eiss, foto-foto bokehnya ajib banget! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu lensanya rusak Mas, nggak bisa autofocus, F nya juga udah macet, gak bisa dimainin, jadi rada susah Mas..

      Hapus
  2. Waaaah kemarin nggak sempet liat karena ngantor hiks hiks. Tapi pas tahun lalu liat sih rame banget sampe jalanan macet dan banyak yang diputer-puter yakkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga ngantor kak, tapi sekali-sekali mbolos gak apa-apa lah ya,hehe. Emang rute pawainya kayak gitu, katanya sih sampe malem pun masih ada

      Hapus
  3. pas kecil gak pernah nonton karnaval, cuman main ke pasar malam aja. nonton layar tancep. hihih. masa kecil memang selalu penuh kenangan. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku cuma sekali pernah nonton layar tancep. Sekarang udah jarang ada layar tancep kak

      Hapus

 
//